SELAMAT DATANG DI WEBLOG MAHASUTRA (Mahasiswa Universitas Terbuka)

Rabu, 30 Juni 2010

MENULIS TIDAK SULIT, TIDAK SULIT MENULIS

Oleh: Ganjar Triadi Budi Kusuma

Menulis bukan pekerjaan sulit. Buktinya semua orang yang telah lulus bangku SD dapat menulis. Jika lulusan SD saja mampu menulis, entah itu menulis kalimat surat, menulis puisi, menulis, cerpen, atau menulis apa saja, maka sejatinya kebiasaan menulis sudah melekat pada diri setiap orang. Menulis merupakan suatu kebutuhan. Setiap manusia butuh menulis, sebagaimana ia juga butuh berbicara. Menulis adalah bahasa gerak tubuh, sedang berbicara adalah bahasa lisan. Baik menulis ataupun berbicara, manusia membutuhkan peran otak sebagai pusat kendali apa yang dikehendaki oleh hati nuraninya untuk disampaikan kepada orang lain di sekitarnya. Masalahnya sekarang, mengapa kebiasaan menulis tidak menjadi sesuatu yang lekat dan orang dengan kita? Mengapa menulis dianggap sesuatu yang sulit ? Lebih ironis lagi, para guru sebagai agen pembaharuan dan agen pendidikan manusia seutuhnya, banyak yang “alergi” jika disuruh menulis.

Untuk menjawab pertanyaan di atas dibutuhkan sikap bijak. Kita tidak dapat menyalahkan kepada sosok manusia berprofesi sebagai guru. Memang, realitanya para guru kita masih kecil sekali persentase kemampuan menulis tentang hal-hal ilmiah. Hal tersebut tercermin dari mayoritas guru berpangkat golongan IV/a atau Pembina, seakan-akan langkahnya terhenti untuk meraih pangkat golongan di atasnya. Salah satu alasannya, karena para guru tersebut “malas” untuk menulis karya tulis ilmiah seperti Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun tulisan berbasis ilmu pengetahuan sesuai bidang studi yang diembannya.

Sikap Malas
Menulis adalah jantung dari proses pendidikan, karena hal pertama kali yang diajarkan oleh guru sejak dini kepada siswa-siswinya adalah menulis. Menulis pulalah yang mendasari kecerdasaran seseorang untuk akhirnya dapat membaca dan memperoleh ilmu yang tidak terbatas.

Namun sayang sekali, dalam praktiknya kebiasaan menulis di kalangan pelajar mulai dari tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi terasa kurang. Kalau toh mereka diajar dan diajak oleh guru untuk menulis, baru sebatas tugas menulis puisi, cerpen, atau esai di dalam pelajaran Bahasa Indonesia ataupun pelajaran lain. Hal ini menyebabkan kemampuan menulis sebuah karya dari hasil pemikiran siswa relatif rendah, tidak prospektif, dan cenderung menjadi sebuah kebiasan yang monoton.

Kebiasaan menulis yang ditindaklanjuti dalam bentuk mengikuti berbagai kegiatan lomba, merupakan cara efektif untuk mengasah kemampuan, keterampilan, semangat berkompetisi, sekaligus pendidikan nyata berwiraswasta. Karena dunia tulis menulis secara nyata terbuka lebar bagi mereka yang mau bekerja dan memperoleh penghasilan cukup menjanjikan. Hal ini seiring pertumbuhan industri pers ataupun media cetak dan media elektronik yang luar biasa pesatnya.

Peluang untuk menambah penghasilan dari bidang tulis-menulis sebenarnya menganga, terbuka lebar. Sangat menjanjikan. Hanya saja masalahnya adalah bagaimana memulai suatu niat untuk menulis. Ya, tanpa niat yang kuat mustahil sebuah tulisan dapat diselesaikan dengan baik. Dari niat itulah seorang penulis memperoleh energi kuat untuk mengawali sekaligus mengakhiri sebuah tulisan secara utuh. Niat untuk menulis merupakan amunisi dahsyat untuk mematikan “musuh utama seorang penulis” yakni rasa malas. Rasa malas itulah yang selalu “mengalahkan sebelum berperang”, atau “ mengakhiri sebelum memulai”. Banyak orang ketika akan menuangkan ide di benaknya dalam sebuah lembar tulisan, tiba-tiba surut dan batal. Mereka sudah dibebani dan diracuni oleh kata-katanya sendiri: menulis itu sulit, tidak punya kalimat yang baik, tidak punya ide bagus, dan alasan lain.

Untuk membiasakan suka menulis, harus dimulai dari membiasakan semangat untuk mengawali dan mengakhiri dalam menghasilkan sebuah produk tulisan. Mengenai persoalan mutu apakah hasil tulisan itu baik atau kruang baik, janganlah dijadikan persoalan utama. Karena seiring seringnya latihan, perlahan namun pasti persoalan mutu tulisan akan membaik.

Kebetulan sejak SMA saya suka menulis, karena diajari oleh guru Bahasa Indonesia untuk rajin menulis apa saja. Ternyata nasihat itu benar, begitu lulus kuliah hingga detik ini banyak hal-hal besar saya peroleh dari kegiatan tulis menulis. Saya melakukan duplikasi kepada siswi-siswi saya (dari 1.200 siswa SMKN 2 Semarang, siswa pria hanya 24 orang) untuk rajin menulis, dan rajin mengikuti berbagai lomba menulis. Hasilnya tidak sia-sia, saya pernah membimbing siswi yang berhasil meraih Juara I lomba menulis di tingkat Kota Semarang, Juara I lomba di tingkat provinsi Jawa Tengah, dan terakhir Juara I lomba menulis esai tingkat nasional. Hadiahnya saya dan siswi tersebut diberi tiket terbang Jakarta – Sydney, Australia PP. Kami diberi fasilitas lux, mendapat uang saku setara Rp 10 juta untuk berlibur selama seminggu berkeliling di Australia. Saya telah menulis di 30 koran dan majalah di Indonesia, semua itu memberi penghasilan tambahan yang tidak kecil. Saya menulis buku biografi tokoh-tokoh di Semarang dan Jawa Tengah. Ternyata menulis dapat untuk lahan berwiraswasta. Peluang bisnis yang masih menganga lebar.

Mengajak anak untuk berani berkompetisi mengikuti berbagai lomba menulis merupakan contoh sederhana namun dapat menghasilkan hal-hal besar. Modal untuk mengikuti lomba tersebut relatif sederhana. Cukup membuka internet yang cuma Rp. 4000 per jam, untuk mengakses begitu banyak jenis lomba menulis, khususnya berskala nasional. Mulai lomba menulis esai, puisi, cerpen, hingga yang serius seperti lomba menulis karya ilmiah. Di sinilah tugas seorang guru pembimbing untuk memilihkan jenis lomba tulis yang tepat bagi siswa-siswinya. Kalau toh ada kesulitan untuk mencari data ataupun materi guna melengkapi isi tulisan, di internet itu pula seluruh kebutuhan kita akan terakomodir dengan baik. Semuanya tersedia. Cara mengirimkannya juga relatif muda dan murah. Jangan pernah takut untuk kalah, karena di balik kekalahan tersembunyi peluang kemenangan. Jangan minder, karena hal itu musuh utama yang harus diberangus.

Kehidupan ini berisi kompetisi, persaingan yang sehat untuk maju dan berkembang. Sejak dini para siswa-siswi kita harus dilatih, diajak, diarahkan untuk menjadi manusia-manusia yang terbiasa untuk berkompetisi. Dengan cara mengikuti berbagai lomba menulis. Setiap harinya kesempatan untuk mengikuti berbagai lomba menulis bertumpuk di halaman-halaman internet. Semua itu harus kita jadikan cara untuk mengasah pengalaman dan membidik peluang kemenangan. Karena hadiah uang dalam jumlah besar, biasanya selalu dijanjikan bagi mereka yang berhasil menang. Kalau ada tidak percaya, saya sudah berkali-kali membuktikannya. Kalau saya bisa, anda pasti lebih dari bisa. Begitu bahagia ketika saya bersama anak-anak terbang menggunakan pesawat udara untuk mengambil hadiah kejuaraan, begitu nyata kisah ini, dan begitu pula anda dapat melakukannya.

Dukungan Institusi
Guru, apapun pangkat, golongan, status, haruslah menjadi agen penghasil tulisan ilmiah. Untuk mewujudkan hal ini, lembaga pencetak profesi guru seperti IKIP atau perguruan tinggi lainnya, haruslah memberi dukungan. Pada mata kuliah khusus, para calon guru harus digelontor dengan teori dan praktik menulis. Dengan praktik menulis dalam ranah dunia ilmiah, maka mereka akan terbiasa untuk menghasilkan sebuah produk tulisan yang berasal dari hasil pemikiran masing-masing.

Selama ini institusi penghasil profesi guru terlalu banyak memberikan sumbangan ilmu yang lebih bersifat teoritis. Termasuk di dalamnya ilmu untuk bidang tulis-menulis, seperti halnya panduan penyusunan karya ilmiah sampai penyusunan skripsi. Semestinya tulisan-tulisan yang harus dihasilkan oleh para calon guru tadi lebih bersifat praktis, humanis, sederhana, namun dekat dengan kehidupan mereka.

Budaya Menulis
Jika seorang guru memasuki kelas, sejak awal hingga akhir pelajaran tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya menulis dan menyampaikan pesan komunikasi pendidikan menggunakan media papan tulis, rasanya ada sesuatu yang janggal. Ada hal aneh dan tidak lazim.

Namun sebaliknya, jika seorang guru sejak awal hingga akhir jam pelajaran hanya berbicara, berceramah, memberikan orasi di depan kelas, tanpa sedikitpun menulis di papan tulis, rasanya biasa-biasa saja. Hal itu banyak terjadi di depan kelas.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa budaya berbicara (lesan) lebih rekat, lekat, dan dekat dengan siswa-siswi dalam proses pembelajaran. Sedangkan budaya menulis, berada setingkat atau beberapa tingkat di bawahnya. Hal itu terjadi sejak guru mengajar di bangku TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Mereka memberikan contoh pembelajaran yang akhirnya membudaya, lebih banyak berbicara dari pada menulis.

Kebiasaan itu akhirnya menjadi sebuah budaya di wajah pendidikan kita. Orang lebih banyak berbicara, dari pada menulis. Efeknya orang tidak (terlalu suka) membaca. Apalagi bacaan yang agak berat seperti halnya bacaan buku berisi ilmu pengetahuan ataupun artikel tentang suatu permasalahan dalam kehidupan di masyarakat.

Secara tidak sengaja para guru dan para dosen mengajarkan kepada siwa-siswi dan mahasiswanya untuk lebih banyak berbicara dari pada menulis. Maka dunia menulis – dalam pengertian menulis artikel atau tulisan mengandung muatan ilmiah, menjadi demikian jauh. Karena jauh, dianggap sesuatu yang asing, sulit, dan tidak disukai.

Untuk mengembalikan sesuatu yang “jauh” tadi, maka harus dilakukan upaya pendekatan-pendekatan. Tidak perlu untuk saling menyalahkan, tidak perlu malu-malu mengakui kekurangan ini. Secara sistematis di semua lini dan jenjang pendidikan harus ditekankan tentang pentingnya siswa-siswi hingga mahasiswa-mahasiswi untuk suka dan terbiasa menulis. Jika sedang TK atau SD sudah terbiasa menulis sesuatu yang nyata di sekitarnya, maka jenjang berikutnya tinggal menyempurnakan. Kebiasaan menulis ini harus lebih ditingkatkan bobot dan frekuensinya di bangku SMA/SMK dan Perguruan Tinggi.

Sudah saatnya Dinas Pendidikan Pusat meluncurkan suatu kebijakan baru, agar lembaga pendidikan penghasil guru seperti IKIP dan lembaga pendidikan lainnya menambah jatah ilmu praktis tentang teknis menulis suatu karya ilmiah yang sederhana, mudah dilakukan, tanpa meninggalkan bobot ataupun mutu. Sudah sepatutnya pelajaran menulis suatu karya tulis berbasis ilmu pengetahuan atau karya ilmiah dibiasakan sejak dini. Hal ini akan menjadi suatu kebiasaan yang secara tidak disengaja menjadi rutinitas positif.

BIODATA
1.Nama : Ganjar Triadi Budi Kusuma, S.Pd
2.Tempat,tgl.lahir : Bandung, 18 April l964
3.Pendidikan : FIPS – UNNES
4.Pekerjaan : PNS (Guru SMKN 2 Semarang)

Pengalaman di bidang tulis-menulis:
1.Wartawan SUARA BENGAWAN (Solo)
2.Koresponden majalah PERTIWI, FAMILI, SWARA KARTINI INDONESIA
3.Menulis di koran SUARA MERDEKA, WAWASAN, CEMPAKA MINGGU INI, NOVA, MOP, TERUNA, LIBERTY, SUARA KARYA, KARTIKA

9. Menulis buku biografi:
1). Wanita dalam berita, cerita, derita (profil wanita berprestasi)
2). Dokter dalam berita, cerita, derita (profil dokter berprestasi)
3). Biografi Dra. Hj. Endang Setyaningdyah, MM. (mantan Bupati Demak)
4). Biografi H. Sukawi Sutarip, SH.,SE. (Walikota Semarang)
5). Jejak Langkah Srikandi Demak
6). Sukawi Sutarip di Mata Masyarakat
7). Sukawi Sutarip Kembali Mengabdi untuk Rakyat
8). Biografi H. Suwanto, SE.,MM. (Direktur Penerbit Aneka Ilmu)
9). Biografi Drs. HMS. Soedarsono, BBA.,MM. (Dirum PDAM Semarang)

10). Biografi Soelarno
11). Biografi H. Noer Hamid Wijaya, BA. (mantan Wakil Bupati Demak)
12). Biografi H. Sriyono, S.Sos. (Ketua DPRD Kota Semarang)
13). PDAM Kota Semarang dari Masa ke Masa
14). Biografi Prof. Dr. H. Tubagus Chasan Shochib (tokoh masyarakat Banten)
15). Biografi Drs. H. Soeparto Danu K (Mantan Kakanwil Depdikbud Jateng)
16). Biografi Dokter H. Mohammad Basyir (Walikota Pekalongan).
10. Menulis buku psikologi, seksologi, dan umum:
a.Bercerai dengan Indah (Penerbit INTISHAR, Yogyakarta)
b.Antara Dua Sisi (Penerbit SAHABAT SETIA, Yogyakarta)
c.Satu Hati Dua Bodi (Penerbit SAHABAT SETIA, Yogyakarta)
d.Dari Pelayan menjadi Majikan (Penerbit HAKA, Semarang)
e.Guritan-guritane Sudi Yatmana (Penerbit ANEKA ILMU, Semarang)
f. Remaja, Seks, Aborsi (Penerbit SAHABAT SETIA, Yogyakarta)

Artikel diikutkan dalam Lomba Penulisan Agupena Jateng 2009 di LPMP Jateng

BUDAYA MENULIS WUJUD KOMITMEN GURU PROFESIONAL

Penulis : Ely Susiana, S.Pd
gbrGuru Profesional di Masa Sekarang
Salah satu kunci penting dalam membangun kualitas pendidikan adalah guru. Sangatlah wajar akhir-akhir ini penghargaan dan pengakuan terhadap profesi guru semakin meningkat, hal ini diawali dengan adanya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dan selanjutnya disusul dengan diterbitkannya perundang-undangan lain yang mendukung untuk meningkatkan kualitas profesi guru. Secara legal dinyatakan bahwa seorang guru profesional dituntut untuk memiliki sejumlah kompetensi. Dalam keseharian, seorang guru profesional dapat menunjukkan empat kompetensi yang harus dimiliki, yaitu komptensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, sedangkan kompetensi profesional adalah kemampuan yang harus dimiliki guru dalam menguasai materi pembelajaran. Kompetensi personal mengandung maksud bahwa guru harus memiliki kepribadian yang mantap, sedangkan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, baik dengan peserta didik, sesama guru, wali murid, maupun masyarakat luas merupakan penjelasan dari kompetensi sosial. Untuk melengkapi dalam menyikapi sejumlah kompetensi yang harus dimiliki guru, kiranya setiap guru ingin tampil terbaik sebagaimana yang dikemukakan oleh Tommy Belavele, yang menyatakan bahwa seorang guru yang baik seharusnya :

Memiliki misi.

Memiliki suatu keyakinan positif.

Mengenal bahwa pikiran yang dibuat memiliki dampak yang mendalam terhadap keberhasilan dirinya .

Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang memungkinkan bagi guru untuk mengatasi setiap tantangan yang dihadapi.

Mengetahui penggunaan waktu dan usaha untuk memperoleh hasil yang terbaik dan kepuasan diluar mengajar.

Untuk menjamin efektifas pendidikan dalam usaha mencapai guru yang profesional pada masa sekarang ini perlu diupayakan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah menulis. Kemampuan menulis merupakan keahlian yang harus dimiliki oleh seorang guru, bahkan yang sudah menyandang predikat sebagai guru profesional. Dengan menulis, seorang guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir dinamis, kreatif, dan kemampuan menganalisis serta kemampuan meningkatkan kualitas pembelajaran. Apalagi masa-masa sekarang ini dengan adanya pengakuan dari masyarakat tentang guru profesional, masyarakat ikut menyoroti kualitas dan mutu guru dalam dunia pendidikan . Pada kenyataannya di lapangan banyak guru yang belum dapat meningkatkan kemampuannya sebagai guru profesional, sebagai contoh masih tetap melekat stigma pada sebagian besar guru “ Menulis itu sulit dan saya tidak bisa “. Dengan pernyataan seperti ini tentulah perlu dicari solusinya. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal tersebut, yang terpenting guru mau terus berusaha tanpa kenal putus asa agar dapat meningkatkatkan kualitas pendidikan yang baik seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat.

Pada awalnya untuk memulai menulis memang sangatlah sulit, namun apabila mau berusaha terus-menerus dengan ketekunan dan keuletan niscaya lama kelamaan menulis akan terasa mudah. Kemampuan menulis jelas melalui proses pembelajaran yang tidak begitu cepat. Awalnya menulis bisa dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu misalnya, menulis buku harian untuk menuangkan segala uneg-uneg yang ada , kemudian sedikit demi sedikit berkembang pada lingkungan sekitar dan akhirnya menulis sesuatu yang dapat dipublikasikan. Untuk mendukung menjadi penulis yang baik banyak-banyaklah membaca buku atau referensi yang terkait dan juga selalu mengikuti perkembangan jaman , apalagi di era informasi yang semakin pesat seperti sekarang ini, di mana perkembangan dunia dapat diakses dengan begitu cepat dan mudah. Jadi, perkembangan di media masa baik cetak maupun elektronik, bahkan internet (online) harus selalu diikuti dan diakrabi setiap saat oleh seorang guru profesional agar tidak ketinggalan jaman.

Menulis itu Gampang
Bila berbicara masalah menulis tentu pikiran kita tertuju pada pengarang-pengarang atau penulis-penulis terkenal. Bagi para pengarang menulis merupakan menu keseharian jadi menulis sangatlah mudah dilakukan bagi mereka. Lain halnya bagi seorang guru yang tidak terbiasa untuk menulis, dapat dibayangkan pasti seorang guru yang tidak terbiasa menulis akan merasakan bagaimana sulitnya merajut kata-kata dan mengemasnya untuk dijadikan sebuah tulisan yang menarik. Sebenarnya menulis itu gampang bagi siapa saja yang penting ada kemauan , minat dan juga ambisi yang terus menerus tanpa putus asa. Selain itu syarat utama bagi seseorang yang ingin menulis adalah bisa baca dan tulis. Lantas bagaimana caranya supaya bisa terampil menulis sebagaimana para pengarang-pengarang atau penulis-penulis terkenal ? Coba renungkan baik-baik tiga resep berikut ini :

Pertama,
Memiliki keyakinan yang kuat untuk bisa menulis.

Kita sadari bersama bahwa menulis sudah dapat dilakukan oleh siapa saja karena pekerjaan ini sudah dilakukan sejak kita duduk di bangku SD khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu mengarang. Jadi, setidak- tidaknya bagi siapa saja yang pernah duduk di bangku SD sudah barang tentu ia sudah pernah mengarang atau menulis, baik itu menulis suatu cerita, puisi, dialog, karangan, ataupun menulis hal yang lainnya. Dalam hal ini yang diperlukan dalam menulis saat itu bukanlah bakat yang istimewa namun lebih mengutamakan adanya keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan atau ide lewat tulisan.

Kedua,

Jadikan menulis sebagai kebiasaan.

Agar kemampuan menulis berkembang menjadi suatu kebiasaan, maka milikilah keinginan untuk belajar menulis. Tulislah apa saja yang bisa ditulis baik itu buku harian, memori, puisi, cerpen, artikel/esai, atau bahkan buku sekalipun. Apabila sudah sering menulis maka akan menjadi suatu kebiasaan tanpa beban sehingga pekerjaan menulis akan dirasakan sangatlah gampang. Kalau sudah demikian keadaannya, lambat laun “Menulis” akan menjadi budaya bagi para guru yang ingin mengembangkan potensi dan kualitasnya demi dunia pendidikan pada umumnya dan demi profesi keguruan pada khususnya.

Ketiga,

Buatlah semacam “Daftar keuntungan “.

Untuk menjadi seorang penulis harus mempunyai keyakinan bahwa dengan menulis dapat memberikan kesempatan memperoleh honor atau uang, menjadi lebih dikenal orang, menjadi lebih dihargai orang, menjadi lebih dihormati orang, dan lain sebagainya.

Tiga resep keyakinan itulah yang pertama kali harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi penulis. Apabila tiga resep keyakinan tersebut sudah tertanam di dalam diri seseorang yang ingin menulis maka langkah selanjutnya adalah mencoba untuk memulai menulis. Menulis itu sebenarnya tidaklah sulit seperti apa yang telah dituliskan oleh Arswendo Atmowiloto seorang pengarang terkenal di negeri ini dalam bukunya yang berjudul “Mengarang itu Gampang”. Dikatakan gampang karena menulis itu dapat dipelajari dan melalui suatu proses. Sudah barang tentu untuk menjadi seorang penulis tidaklah dengan proses yang cepat dan mudah. Yang terpenting dalam hal ini seorang penulis harus mempunyai minat dan ambisi terus-menerus yang tak mudah patah, tak kenal putus asa. Menulis sesuatu memang tidak mungkin sekali jadi, harus melalui proses pembelajaran . Jadi, jangan pernah berhenti atau menyerah jika karangan tulisan yang dibuat belum berhasil, hilang, atau dikembalikan dari redaksi misalnya.

Tiga N

Mardjuki adalah seorang penulis kreatif yang cukup dikenal di kalangan wartawan Yogyakarta tahun 1987 memberikan pesan kepada penulis-penulis pemula. Pesan yang beliau berikan terkenal dengan istilah “Tiga N” yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi. Tiga kata dalam bahasa Jawa tersebut kurang lebih mempunyai arti : mengamati, meniru, dan menambahi. Pesan yang pertama (niteni), mengandung arti bahwa untuk menjadi seorang penulis harus dapat menjadi seorang pengamat terlebih dahulu, namun yang dimaksudkan dengan pengamat dalam hal ini adalah pengamat tentang berbagai karya tulis sejenis ( yang diminati) yang beredar di masyarakat, sebagi contoh kalau menulis dengan tujuan untuk mengarang artikel, cerpen, novel, atau buku maka salah satu yang perlu diamati untuk mendukung kegiatan ini adalah berbagai karya tulis yang senada dengan karya tulis yang diinginkan tersebut. Pesan yang ke dua (nirokke) mengandung maksud bahwa dalam belajar menulis jangan segan-segan untuk meniru tulisan dari pengarang-pengarang yang sudah terkenal.

Tentu saja meniru dalam hal ini bukan berarti menjiplak. Hal yang ditiru sebaiknya jangan kata per kata atau kalimat per kalimat namun logika dan sistem pola pikirnya yang harus diikuti. Itupun kalau bisa, kalau merasakan ada kesulitan dalam meniru suatu karya maka carilah buku lain yang lebih mudah untuk dicerna bacaannya dan mudah ditiru. Jadi dalam hal ini jangan bosan-bosan bagi seseorang yang ingin menulis untuk mencari referensi buku seabrek-abrek agar dapat memiliki wawasan yang luas dalam menulis. Ada beberapa pengarang novel terkemuka di Indonesia, yang pada awalnya adalah sebagai penterjemah novel-novel sejenis. S. Mara Gd. misalnya. Kalau tak salah ia semula adalah penterjemah berbagai karya pengarang misteri Agatha Christie. Lama kelamaan ia menjadi paham bagaimana menggambarkan karakteristik tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel misteri dan juga alur cerita yang dibuat. Dari sinilah ia mulai untuk mengarang novel sendiri dengan menggunakan perspektif budaya lokal dalam karangannya. Pada titik inilah ia tidak lagi hanya sekedar nirokke saja tapi sudah menjadi tahap yang ketiga yaitu nambahi, namun penambahan yang dilakukan dengan keunikan-keunikan tersendiri. Menyatakan pikiran sendiri dalam arti bersetuju, menolak, atau menambahkan pandangan pribadi atas pendapat tokoh-tokoh yang dikagumi merupakan beberapa cara untuk menyempurnakan tahap nambahi. Nah, bagi siapa saja yang baru pada tahap penulis pemula, ingatlah pesan Mardjuki ini :

~ Niteni

~ Nirokke

~ Nambahi

Dari uraian ketiga pesan praktis di atas, apabila dipelajari dan kemudian dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, Insya Alloh menulis akan menjadi sangat gampang bagi siapa saja. Rasanya kalau disuruh untuk mencetak seseorang menjadi pengarang belumlah ada mesin yang mampu mengerjakannya namun dengan belajar , mengikuti pelatihan atau seminar, kemudian dipraktikkan dengan mencoba untuk menulis, maka cara ini merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menciptakan iklim sebagai seorang penulis. Iklim sangat membantu seseorang yang benar-benar ingin menjadi seorang penulis, karena kemungkinan untuk menjadi pengarang barang kali jarang terlintas pada diri seseorang. Dengan iklim yang ada disertai dengan petunjuk praktis yang mendukung, dapat mengembangkan bakat dan minat dalam menulis pada siapa saja. Bahkan apabila memang menguntungkan bagi seseorang, iklim akan tercipta dengan sendirinya untuk benar- benar membawa menjadi seorang penulis yang produktif dan profesional sesuai dengan harapan.

Kiat Jitu dalam Menulis
Perlu disadari bersama bahwa proses pembelajaran menulis selalu dimulai dari munculnya kesadaran atas adanya ketidakmampuan untuk menulis, oleh karena itu diperlukan adanya pembelajaran secara sungguh-sungguh sampai merasa benar-benar mampu untuk menulis. Hanya posisi sadar tidak mempunyai kemampuan yang dapat mendorong proses pembelajaran. Pembelajaran yang sungguh-sunggug disertai praktik secara terus menerus maka akan dapat membantu dalam mencapai tahap terakhir dalam menulis yaitu menjadi penulis yang produktif dan porfesional. Setelah mampu dan terampil menulis baik itu menulis fiksi ( cerpen, novel, dsb ) atau nonfiksi (artikel, buku, dsb), maka upaya lain yang harus dilakukan adalah mencoba untuk mempublikasikannya. Cara untuk mempublikasikan suatu tulisan dapat dilakukan melalui media masa. Tulisan yang dikirim pada media masa tentu harus dapat memenuhi persyaratan dan kriteria yang ditetapkan pada suatu media masa tertentu , tidak semua tulisan yang dikirim dapat dimuat pada media masa. Bagaimana kiat- kiat jitu agar tulisan yang dibuat dapat diterima dan kemudian dimuat oleh suatu media masa. Berikut beberapa kiat yang jitu agar suatu tulisan dapat dimuat di media masa seperti apa yang diharapkan :

Kenalilah media yang akan dikirimi tulisan, artinya sebelum naskah dikirim tentu harus diketahui dulu tentang isi, visi, misi, tujuan, serta sasaran dari media tersebut. Jangan sampai salah dalam pengiriman tulisan karena dapat merugikan diri sendiri.

Baca seluruh rubik yang ada. Dengan membaca seluruh rubik yang ada pada suatu media masa, maka akan diketahui secara jelas apakah tulisan yang dikirim sudah sesuai dengan rubik yang ada pada media masa tersebut. Misalnya, kita mempunyai tulisan tentang pembelajaran di kelas pada suatu sekolah tertentu maka rubik yang sesuai untuk tulisan tersebut tidak jauh dari masalah dunia pendidikan.

Pelajari bahasanya. Bahasa yang digunakan dalam menulis harus disesuaikan dengan isi tulisan, tujuan tulisan, manfaat tulisan dan sasaran dari tulisan tersebut diperuntukkan untuk siapa. Yang terpenting dalam menulis adalah bahasa yang digunakan harus jelas dan komunikatif. Komunikatif dalam arti bahasa yang digunakan harus bisa dipahami, dicerna, dan selanjutnya dapat diterima oleh para pembaca pada umumnya. Hal lain yang perlu diingat pula dalam penggunaan bahasa adalah harus disesuaikan dengan perkembangan jaman karena perlu disadari bersama bahwa bahasa itu terus berkembang seiring perkembangan dan kemajuan jaman.

Tulisan tidak perlu panjang-panjang. Dalam menulis, kalimat-kalimat yang digunakan haruslah singkat, jelas, dan padat namun tulisan tersebut mengandung subyek aktivitas dan bukan hanya sekedar fakta. Yang harus diingat selalu dalam menulis adalah jangan sekali-kali menjadi plagiator ( penjiplak). Apalagi dalam kedudukan sebagai penulis pemula jangan sekali-kali berani melakukan plagiat karena hal ini sangat merugikan diri sendiri di masa-masa yang akan datang. Sekali kredibilitas seseorang sudah tidak dapat dipercaya maka selanjutnya tulisan-tulisan yang sudah dibuat pun akan sia- sia belaka dan tak ada gunanya.

Bacalah terus secara berulang-ulang tulisan yang sudah jadi. Sebelum dikirim ke media masa tulisan yang sudah dibuat sebaiknya dibaca terlebih dahulu secara berulang-ulang hingga merasa bahwa tulisan yang sudah dibuat benar-benar siap dan pantas untuk dikirim pada suatu media masa yang diinginkan.

Carilah alamat dari redaksi secara lengkap. Lihat box redaksi, dan cari alamatnya secara lengkap. Jangan sampai terjadi jika redaksi media masa yang dikirimi tulisan tidak tahu alamatnya secara lengkap. Tidak dapat dibayangkan seandainya terjadi salah alamat dalam pengiriman tulisan , maka akan sia-sia belaka .

Banyaklah membaca. Menulis dapat dikatakan gampang apabila supply informasi di otak dan batin memadai. Proses pemasokan inforamasi inilah yang bisa diperoleh dengan banyak membaca. Dengan membaca cakrawala berpikir seseorang menjadi terbuka dan luas. Inilah yang menjadi modal utama seseorang untuk menulis sehingga apabila seseorang ingin memulai menulis tidak akan kesulitan dalam menuangkan ide yang dituangkan ke dalam suatu tulisan. Bagi penulis baru, kegiatan membaca dapat diibaratkan sebagai mata kuliah dasar umum ( MKDU) atau jenis kuliah tingkat pengantar dan asas-asas. Tanpa melewati proses ini, sulit dibayangkan untuk dapat mempelajari mata kuliah berikutnya. Begitu halnya dengan kegiatan membaca, pekerjaan menulis menjadi gampang apabila sudah membiasakan diri untuk membaca. Artinya, kalau memang dengan membaca sudah dianggap sulit maka lupakanlah untuk menjadi penulis yang produktif dan profesional tentunya.

Buatlah agenda khusus untuk pengiriman tulisan. Jika pernah mengirim tulisan pada sebuah media masa, jangan lupa agendakan ke dalam buku khusus. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai catatan khusus dan mempunyai daftar tulisan-tulisan yang pernah dibuat , baik yang sudah dimuat dalam media masa maupun belum. Hal ini dapat membantu untuk mengecek kembali tulisan-tulisan yang sudah pernah dibuat atau dimuat dalam suatu media masa. Cara seperti ini dapat menghindarkan terjadinya penulisan yang ditulis secara berulang-ulang atau pengiriman tulisan pada satu media masa yang sama dalam kurun waktu yang sama pula.

Buatlah menjadi kliping. Tulisan yang sudah pernah dimuat pada media masa hendaknya dikumpulkan dan kemudian jadikanlah kliping. Dengan pembuatan kliping diharapkan dapat digunakan sebagai kenang- kenangan dan sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penulisan-penulisan berikutnya.

Jangan cepat merasa puas. Apabila telah meraih sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan, sebaiknya jangan mudah merasa puas. Begitu pula pada tulisan yang sudah dimuat pada sebuah media masa, janganlah cepat merasa puas karena dengan perasaan puas dapat mengakibatkan seseorang memperoleh kesenangan yang berlebihan sehingga kadang-kadang menjadikan seseorang itu lupa. Lama-kelamaan orang itu akan terbuai dalam kepuasan yang mendalam dan akhirnya akan berdampak pada kemalasan untuk menulis lagi. Tetapi sebaliknya, juga tidak boleh mudah putus asa apabila tulisan yang dibuat belum bisa dimuat pada suatu media masa. Jika hal ini terjadi sebaiknya koreksi diri sendiri apa kekurangannya dengan meminta saran dan kritik kepada redaksi baik secara tulisan ataupun lisan demi perbaikan dalam pembuatan tulisan pada waktu yang akan datang. Jadi, hal yang harus dicermati dan dipetik maknanya pada permasalahan ini adalah jangan mudah putus asa dan terus mencoba, bila ingin dapat menghasilkan sebuah tulisan yang baik.

Budayakan Senang Menulis di Kalangan Guru.

Budaya menulis di kalangan guru di Indonesia sangatlah rendah hal ini disebabkan karena minat baca dan tulis pada kalangan guru juga masih sangat rendah. Padahal budaya senang membaca dan menulis sudah ditanamkan sejak dini (dibangku SD) untuk mendukung terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan berkualitas. Oleh karena itu, sebagai seorang guru apalagi yang sudah menyandang predikat sebagai guru profesional harus dapat melanjutkan kebiasaan menulis ini yang sudah dirintis sejak lama, sehingga dengan situasi yang demikian guru termotivasi untuk membudayakan menulis. Predikat guru profesional, kini secara yuridis telah melekat pada sebagian besar guru. Hak-hak sebagai guru profesional sebagaimana tercantum pada pasal 14 UUGD sudah banyak dinikmati, yaitu antara lain memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun, pemberian tunjangan yang demikian besar itu haruslah diimbangi dengan adanya suatu kewajiban. Adapun kewajiban seorang guru yang tercantum dalam UUGD pasal 20 sebanyak lima kewajiban yaitu membuat perencanaan / program pengajaran, melaksanakan perencanaan/ program pengajaran, mengevaluasi hasil belajar, menganalisis hasil belajar, dan mengadakan tindak lanjut atau pengayaan.

Lepas dari kewajiban seorang guru yang dituntut dengan undang-undang, kinerja guru profesional sesungguhnya lebih ditunggu oleh masyarakat baik itu masyarakat pendidik maupun masyarakat luas. Pendek kata, segala langkah, sikap, dan perilaku guru profesional dalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak akan lepas dari sorotan berbagai pihak. Pada pundak guru profesional melekat tanggungjawab lebih besar yang tidak dapat lagi dihindari dengan alasan tidak mampu. Untuk itu, mari kita pegang kepercayaan masyarakat dengan selalu berusaha meningkatkan kualitas pendidikan demi kemajuan bangsa. Sebagai seorang guru profesional harus mempunyai tekad untuk terus meningkatkan kemampuannya melalui berkarya, berkreasi, berimajinasi, berinovasi, dan berpartisipasi dalam meningkatkan profesionalismenya. Salah satu jalan yang paling mudah ditempuh untuk meningkatkan kinerja sebagai guru profesional adalah dengan membudayakan menulis. Dalam menulis, tidak ada lagi alasan bagi seorang guru profesional untuk tidak mampu untuk menulis. Hal yang sangat dibutuhkan bagi seorang guru profesional dalam menulis adalah rasa percaya diri bahwa dengan menulis dapat melakukan sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi, dan akan memperoleh sesuatu yang baik dari menulis. Kemauan yang kuat, minat dan ambisi yang terus menerus tanpa mengenal putus asa juga merupakan beberapa kiat yang jitu untuk memulai dalam menulis. Dengan kepercayaan dan keyakinan tersebut, maka seseorang akan termotivasi untuk ingin menulis sesering mungkin sehingga lama-kelamaan ia mempunyai rasa senang untuk menulis. Adanya rasa senang untuk menulis ini akan berdampak positif bagi seorang guru profesional yang diharapkan dapat menjadi suatu kebiasaan tanpa beban.

Selanjutnya dengan menulis diharapkan dapat dijadikan suatu kebudayaan yang harus dilakukan bagi semua guru, terlebih khusus bagi guru yang sudah menyandang predikat guru profesional. Hal ini dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya dan kualitas guru pada khususnya terutama tentang eksistensi profesionalismenya , seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat. Jadi, tanda tanya, keraguan, ketidakpercayaan, kebimbangan yang selama ini dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat tentang eksistensi seorang guru dalam meningkatkan profesionalismenya sedikit demi sedikit akan berkurang. Keberadaan seorang guru semakin dapat dilihat dari komitmen kinerjanya menuju guru yang benar-benar profesional. Oleh karena itu, mari kita coba mulai dari diri kita sendiri sebagai seorang guru untuk senang menulis dari sekarang. Hal ini dimaksudkan sebagai wujud dari komitmen kita menuju guru profesional . Selamat mencoba !

Sumber Tulisan
Atmowiloto, Arswendo. 2003. Mengarang Itu Gampang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Harefa, Andrias. 2003. Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Prasetyo, Drs. 2002. Menulis Itu Gampang. Purbalingga : Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga.
Sarjono. 2008. Selamat Datang Guru Profesional. Yogyakarta : Aksara Indonesia.


Ely Susiana, S.Pd

Guru Seni Budaya SMP Negeri 2 Padamara Purbalingga

MEMBUDAYAKAN GURU UNTUK MENULIS `MENULIS ITU GAMPANG`

Oleh Wiwi Parluki
agupeKetika mengunjungi perpustakaan daerah di kabupaten, seorang guru SMP membaca suatu buku berjudul `menulis itu gampang` karangan Arswendo Atmowiloto, langsung terkesiap darahnya dan segera membacanya dengan penuh rasa ingin tahu, ah masa, apa benar?

Gambaran situasi tadi adalah suatu contoh bahwa seorang guru tidak mempercayai suatu anggapan `menulis itu gampang` dan dalam dirinya bisa saja ada keinginan untuk menggulirkan apa yang dialaminya sebagai tenaga pendidik, keinginan untuk berbagi dengan rekan guru khususnya, namun merasa kesulitan dalam menulis atau menemui kendala dengan belum ada rasa percaya diri untuk menulis.

`Menulis menjadi suatu keterampilan`, bagi seorang yang belum mencobanya rasanya terlalu mustahil. Padahal disisi lain, berdasar UU no 20 tahun 2005 tentang guru dan Dosen dalam pasal 20, Dalam melaksanakan tugas keprofesionalanya, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Bagian terakhir yaitu mengevaluasi hasil pembelajaran adalah kegiatan mengevaluasi produk atau karya kita yang perlu diuji demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembuktian keprofesional kita teruji melalui hasil pembelajaran kita dengan menuliskan apa yang telah kita laksanakan kemudian di sampaikan ke forum umum untuk mendapat pengakuan. Tulisan tersebut, disebut karya tulis ilmiah yang merupakan bentuk dari pengembangan profesi. Sayang diantara kita sebagai pendidik, masih banyak yang belum melaksanakan. Guru masih terbatas hanya menulis laporan evaluasi pembelajaran melalui lembar perbaikan dan pengayaan. Hal ini yang mendukung mustahilnya guru untuk menulis sebuah karya tulis.

Benarkah menulis sulit di kalangan guru? Jawabanya tentu beragam. Tetapi kenyataan kita temui masih sedikit karya/tulisan guru menghiasi media massa atau jurnal. Kepengurusan kenaikan pangkat guru melalui pengembangan profesi ini masih menjadi keprihatinan, masih banyak guru yang mentok pada golongan IVa hingga memasuki masa pensiun. Padahal menurut kabar yang disampaikan widyaiswara dalam Workshop Guru Pemandu MGMP di LPMP Jawa Tengah pada tanggal 13-16 Agustus 2008 akan ada peraturan baru tentang kenaikan pangkat melalui angka kredit . Guru golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik ke pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV /a =6, golongan IV/a ke IV /b = 8, golongan IV/b ke IV/c = 10, golongan IV/c ke IV/d = 12 dan golongan IV/d ke IV/e = 14. Jika peraturan ini betul-betul diterapkan, maka menulis karya tulis merupakan keharusan. Menulis karya tulis sendiri adalah sebuah upaya pengembangan profesi diri guru dalam mengekpresi diri.

Menulis karya tulis juga sebenarnya hak kita sebagai tenaga guru yang profesional, hal ini diamahkan dalam UU no 20 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 14, ayat (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak:

k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya. Sekali lagi menulis, ternyata merupakan hak kita sebagai guru.

Dari dari kewajiban dan hak kita, lengkap sudah alasan perlunya menulis, namun kurangnya tulisan karya guru ini didasari oleh beberapa kendala diantaranya; kurangnya motivasi di kalangan guru untuk menulis, kurangnya keberanian guru untuk menulis dan belum memanfaatkan atau belum mengoptimalkan media yang tersedia.

KENDALA AND SOLUSINYA
Kendala-kendala yang dihadapi guru dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

1. motivasi yang rendah di kalangan guru.

Tidak sedikit rekan guru yang telah memiliki atau mengantongi masa kerja yang demikian lama atau guru senior yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, enggan untuk menulis. Andreas Harefa, pengarang buku the best seller, dalam bukunya `Agar Menulis–Mengarang bisa gampang` memberikan semacam motivasi kepada siapa saja yang mau belajar menulis dimana banyak orang beranggapan (juga dirinya pada awalnya sebelum terjun `menulis` beranggapan `menulis adalah sulit`) yang mengakibatkan kurangnya motivasi.

B. kurangnya keberanian guru untuk menulis.
Kondisi guru dimana guru tidak memiliki keberanian telah dicontohkan pada bagian awal tulisan ini. Kondisi ini benar-benar terjadi manakala guru merasa sedikit pengetahuan dan pengalamanya atau terbatas idenya dibandingkan dengan pembaca atau sebelum menulis, guru sudah merasa minder sebelum menulis. Padahal sebenarnya guru memiliki segudang ide untuk ditulis mulai dari buku/bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, peserta didik dan perkembanganya yang unik dan sebagainya. Hal lain yang menjadi pemicu kurangnya keberanian menulis adalah adanya kesalah pahaman akan suatu pengertian bahwa guru dituntut memiliki `loyalitas yang tinggi yaitu taat pada atasan atau pimpinan, sehingga takut mengungkapkan gagasan yang mungkin dianggapnya menyimpang dari kebijaksanaan atasan. Kondisi dimana pandangan guru yang loyal adalah guru yang mentaati semua kemauan dan perintah atasan ini turut mempertajam kondisi guru kurang berani mengemukakan pendapat atau gagasannya atau menujukkan otoritas pribadinya melainkan cenderung mengikuti alur berpikir atasannya. Hal ini keliru, semestinya Loyalitas guru ditujukan kepada Negara sesuai dengan aturan perundangan.

C. belum mengoptimalkan media yang tersedia

Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini demikian pesatnya, sekolah-sekolah sekarang ini sudah memiliki fasilitas yang lengkap mulai dari ruang kelas, alat peraga, fasilitas perpustakaan, bahkan lebih canggih lagi adanya fasilitas Teknologi Informatika dengan internet dan hot spot-nya. Namun sayang kelengkapan fasilitas tadi sering belum dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau pendukung upaya menulis. Ada ungkapan`penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik`. Kita dapat memanfaatkan perpustakaan sekolah atau bahkan memanfaatkan perpustakaan pribadi sebagai referensi. Andaipun perpustakaan sekolah kurang bahan refernsi, guru bisa mengunjungi perpustakaan yang ada di kota kecamatan atau kabupaten. Jikapun masih sulit, guru bisa berselancar melalui internet. Dunia internet saat ini demikian mudah diakses pun melalui warnet yang begitu menjamurnya di masyarakat dewasa ini.

Guru dituntut kritis menghadapi kendala-kendala tersebut. Sebab apabila tidak mengantisipasi, tak pelak dunia pendidikan akan semakin pudar, sementara di sisi lain dituntut meningkatkan kualitas pembelajarannya. Terlebih-lebih guru sedang mendapat perhatian dari pemerintah dengan tunjangan profesi. Maka ironis jika guru berdiam diri dan menjadi guru hanya sekedar melaksanakan kewajiban, sampai menjelang akhir purna tugas.

Kendala-kendala tersebut perlu diatasi dengan adanya program `Kreatifitas bersama` diantaranya;

1. membentuk kelompok-kelompok diskusi mata pelajaran serumpun melalui MGMP lokal di sekolahnya atau mengoptimalkan kelompok guru mata pelajaran dalam MGMP yangg telah terbentuk. Misalnya kelompok guru pengampu mata pelajaran atau MGMP Bahasa Ingdonesia. MGMP Bahasa Inggris, MGMP IPA, MGMP matematika dan sebagainya.

2. Menentukan kesepakatan proyek bersama.
Kesepakatan jenis proyek yang dimaksud aladah dengan menentukan kelompok latihan menulis berdasar jenis tulisan, misalnya tulisan bebas seperti artikle, opini, celoteh guru atau kelompok menulis karya tulis ilmiah berupa Penelitian Tindakan Kelas, kelompok Lesson Study.

3. Menentukan kesepakan waktu menulis.
Budaya mengoptimalkan waktu pada jam-jam dinas di sekolah perlu diterapkan dengan penuh kesadaran. Jam-jam dimana telah selesai mengajar dapat dimanfaatkan untuk mencicil proyek menulis, sebab ada guru yang menganggap setelah selesai mengajar berarti dapat pulang ke rumah meski belum selesai jam dinas. Perlu kesepakatan yang dipatuhi bersama, kapan bisa meninggalkan sekolah, dengan tetap berkreatifitas

4. Mencari pembimbing ahli untuk mengevaluasi tulisan yang dibuat.
Pembimbing bisa menggunakan tutor sebaya jika ada rekan guru yang dianggap mampu terbukti dengan prestasinya, atau kepala sekolah jika mampu, bisa juga mengadakan kerjasama dengan perguruan tinggi di kotanya yang memiliki kredibilitas baik. Jika demikian pun sulit, sekolah dapat menyampaikan usuilan kepada kartor dinas ranting atau kantor dinas pendidikan kabupaten untuk membantu menfasilitasi bimbingan bagi guru yang ingin mengasah kemampuan dalam menulis. Karena masyarakat juga memikul tanggung jawab pendidikan, maka dapat juga melibatkan komite atau orang tua murid jika ada yang mampu mengemban tugas tersebut.

5. Jika suatu karya tulis telah dihasilkan, tentu saja perlu dipajang agar karya tersebut dapat dinikmati orang lain atau bermanfaat.
Media yang paling sederhana bisa dengan Majalah Dinding Khusus Guru dimana bisa dibaca semua komunitas sekolah. Buletin sekolah pun bisa mulai disusun untuk mewadahi guru menulis. Jika sekolah sudah dilengkapi fasilitas ICT tentulah dapat ditampilkan dalam Blog Sekolah. Media- media tersebut penting ketersediaanya, sepanjang memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut:
- Media yang berfungsi sebagai media komunikasi, informasi dan wadah kreatifitas guru yaitu sebagai media untuk saling bertukar pengalaman dan sebagai wadah untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan tempat display hasil karya guru.
- Media itu memiliki manfaat:
☻melatih keberaninan menuangkan pendapat
☻melatih ketelitian, kesabaran, dan ketekunan.
☻melatih kemampuan berorganisasi
☻menambah ilmu, pengalaman dan wawasan
☻meningkatkan daya kreatif dan inovatif
☻sebagai pijakan awal bagi yg ingin menjadi guru yang terampil menulis

6. Pemberian Reward atau penghargaan bagi guru yang aktif
Indikator guru aktif menulis ditentukan berdasar kesepakatan bersama. Disamping reward tentu saja harus dibimbing guru-guru yang tergolong tidak aktif, atau perlu dicari alasan mengapa tidak aktif. Perlu dikaji dan dicarikan solusi agar semua guru dapat mengemukakan kreatifitasnya

Kesimpulan
- Ditinjau dari kewajiban, hak guru dengan segala konsekwensinya, menulis memanglah harus dilakukan oleh guru
- Kendala – kendalan yang dihadapi guru sangat beragam, dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kurangnya motivasi di kalangan guru untuk menulis, kurangnya keberanian guru untuk menulis dan belum memanfaatkan atau belum mengoptimalkan media yang tersedia di sekolah
- Upaya mengatasi kendala diantanya:melalui `program kreatifitas bersama` yang meliputi: membentuk kelompok-kelompok diskusi mata pelajaran serumpun melalui MGMP lokal di sekolahnya atau mengoptimalkn kelompok-kelompok tersebut, menentukan kesepakatan proyek bersama, menentukan kesepakan waktu menulis, mencari pembimbing ahli untuk mengevaluasi tulisan yang dibuat, menentukan media untuk memajang hasil karya, dan pemberian reward atau pembimbingan khusus .

Semua kegiatan di atas diupayakan agar terbentuk iklim budaya menulis. Jika kegiatan menulis sudah rutin dilakukan tentulah akan muncul budaya, dengan demikian menulis tidaklah dianggap sulit. Menulis itu gampang seperti apa yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto dalam bukunya `Mengarang itu gampang`. Maka mari mulai menulis jangan menunggu golongan IV/a, jangan menunggu dua hari lagi. Mulai sekarang juga, setelah membaca artikel ini. Majulah pendidikan di Indonesia.

Dra Wiwi Parluki, M.Pd adalah guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris di SMP Negeri 9 Purwokerto, Banyumas dan Pengurus Agupena Cabang Banyumas.

Daftar Pustaka:
Atmowiloto, Arswendo.2003.Mengarang Itu Gampang.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Tama
Harefa, Andreas.2002.Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Tama

Pengikut